Anak Pupon (Bagian 2 : Kota Rana)

Ramai dan menyenangkan, begitulah pikiran yang terlintas saat melintasi kota ini. Pemandangan yang jauh sekali aku temukan di desaku. Karena sedari lahir aku belum pernah melihat kota seramai ini, apalagi gedung-gedung yang berlomba menunjukkan siapa yang paling tinggi di kota ini. Terlihat jauh dengan desaku yang hanya terdengar deburan ombak, suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Gelap juga sudah menjadi teman sehari-hariku di kala malam menjelang. Tapi di kota ini aku melihat kemegahan yang luar biasa dan sesekali aku memandang gedung yang menjulang tinggi sambil terheran-heran.

"Ramai sekali ya bulek, malam begini masih banyak orang.", kataku kepada Mama.
"Iya le, di sini kan kota, jadi ramai begini. Jangan panggil bulek lagi ya, panggil saya Mama. Kan sudah saya ajari dari tadi.", jawab Mama.
"Betul, panggil saya Papa ya, jangan panggil paklek lagi lho.", sahut Papa.
"Iya, maaf lupa tadi.", jawabku malu.

Mereka berdua tersenyum dan terlihat sangat senang denganku yang mulai berani bertanya. Kami bertiga memasuki kota Rana pukul 19:30 dengan total perjalanan kurang lebih 4 jam dari desa Pandan. Pikiranku masih terheran-heran dengan warga kota yang tetap beraktivitas dan keluar rumah pada malam hari. Padahal di desaku, para orang tua selalu bilang jika setelah maghrib akan banyak makhluk halus berkeliaran di luar rumah. Mungkin itu hanya mitos yang dibuat untuk menakuti anak-anaknya agar tidak keluar rumah saat malam menjelang.

Pukul delapan lebih sepuluh, kami tiba di depan rumah Papa dan Mama. Kemacetan yang membuat kami berlama-lama di jalan, inilah sisi buruk kota yang pertama kali aku lihat dibalik kemegahan dan keindahannya. Tin...tin.. suara klakson dibunyikan, selang beberapa saat aku lihat pagar pintu dibukakan oleh sesorang wanita separuh baya yang rambutnya samar-samar terlihat memutih. Mobil pun menuju garasi dan wanita itu menutup kembali pagar sekaligus menguncinya.

"Siapa ini non?", tanya wanita itu kepada Mama.
"Oh iya bik, kenalin ini Edi. Anak tetanggaku di desa dulu. Ayo Edi salim dulu sama bibik Jum.", pinta Mama sambil mengarahkan tanganku untuk bersalaman dengan bibik Jum.
"Bik, tolong siapkan kamar untuk Edi ya, di kamar tamu."
"Baik non. Ayo tole, saya antar kamu ke kamar.", ajak bibik sambil menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah.

Rumah Mama dan Papa ini sangat besar, beda sekali dengan rumahku di desa yang sempit dan tidur pun kami harus berdesakan dan beralaskan kasur kapuk yang sudah kempes. Sambil terkagum-kagum aku melihat seisi rumah yang begitu banyak perabotan, tak seperti di rumahku yang hanya tertempel kalender, foto presiden dan wakil presiden beserta burung garuda. Di sini aku mulai kerasan dengan keadaan yang serba wah di rumah ini.

Setelah aku tiba di dalam kamar, bibik Jum menyiapkan segala keperluan tidurku mulai dari bantal, guling dan selimut yang kesemuanya harum bak seribu bunga. Dan disitu aku juga melihat kasur per yang belum pernah kulihat sebelumnya, aku coba naik ke atas kasur dan begitu empuk sekali. Lalu bibik menyuruhku untuk mandi dengan air hangat sebelum aku tidur. Setelah selesai mandi, aku pun dibuatkan segelas susu hangat dan disuruhnya untuk menghabiskan. Aku yang tak pernah merasakan ini sebelumnya, mulai kerasan dengan keadaan di rumah ini. (Bersambung.... Nantikan kelanjutannya, tayang setiap Selasa pukul 18:00 WIB)

Kembali ke halaman BERANDA atau CERITA FIKSI

Komentar