Anak Pupon (Bagian 1: Tepi Pantai)

Bagian 1: Tepi Pantai


        Biarkan ini berlalu seperti angin yang terhempas diantara debur ombak lautan. Pohon kelapa yang dulu berbuah lebat, kini hanya meninggalkan satu atau dua buah saja pada tiap pohonnya. Teringat aku dulu sering bermain dengan para kawan, bernyanyi lepas dan berlari kesana kemari tanpa ada beban sedikitpun. Kini 20 tahun sudah berlalu, usiaku sudah menginjak 25 tahun. Aku dulu yang hitam khas anak pantai, kini dikatakan keturunan Bugis pun pantas saja. Perubahan pada diriku sangat melonjak drastis, yang dahulu aku hanyalah anak pantai yang tidak bisa menikmati hiruk pikuknya kota.
            Keadaan pun berubah semenjak sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak setelah 15 tahun menikah, mengunjungi orang tuaku. Papa dan Mama, aku menyebutnya. Sepasang suami istri dari kota yang cukup jauh dari tempat tinggalku yang di pinggir pantai ini. Teringat sekali saat itu, Bapak dan Ibuku (orang tua kandungku) berbincang dengan mereka, seolah mereka pun juga seperti kawan yang bertahun-tahun tak berjumpa. Oiya, aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Kakakku pertama laki-laki, mas Agus dan kakak keduaku mbak Nisa dan terakhir aku, Edi.
            Kami bertiga hidup biasa-biasa saja seperti kebanyakan anak nelayan lainnya, tiada yang "wah" bagi kami, untuk makan setiap hari kami sudah bersyukur. Alhamdulillah, saat itu memang pendidikan untuk anak-anaknya menjadi prioritas utama bagi orang tua kami. Meskipun mas Agus hanya bisa sampai SMP saja, tetapi mbak Nisa bisa tamat SMA. Saat itu, mereka sama-masa masih di bangku SD dan aku pun belum sekolah.
            "Edi....pulang dulu mainnya, ini ada tamu. Kamu kesini dulu", teriak Ibuk saat aku asyik bermain dengan teman-temanku.
            Aku pun bergegas pulang dan melihat sebuah mobil Kijang, yang kala itu cukup mewah untuk sebuah mobil. Aku pun masuk rumah dan berjabat serta mencium tangan kedua tamu orang tuaku tersebut.
            "Pinter sekali..., kelas berapa tole (panggilan untuk anak-anak di Jawa)?", tanya Mama.
            "Belum sekolah bulek (kata yang acap kali untuk menyebut seorang perempuan Jawa yang belum dikenal).", jawabku.
            "Belum sekolah dek Sum, masih 5 tahun umurnya, tahun depan masuk TK", kata Ibuku.
            Aku ingat sekali, Mama sangat suka bercanda denganku, sambil sesekali bertanya "Mau nggak ikut bulek bermain ke kota?". Kerap sekali aku mendengar pertanyaan tersebut, tapi aku selalu menjawab "mboten" karena belum pernah kenal dan bertemu, padahal aku sering dititipkan ke tetanggaku jika orang tuaku masih repot dan kedua kakakku bersekolah.
            Papa dan Mama ini ternyata dulunya adalah warga lokal sini yang merantau ke kota dan berhasil sebagai pedagang ikan laut yang sekarang telah mempunyai perusahaan kecil sendiri untuk pengolahan hasil laut. Mama adalah adik kelas Ibuku waktu sekolah di bangku sekolah dasar, mereka hanya tamat SD saja karena kala itu pendidikan masih mahal bagi kaum nelayan seperti kami dan orang tua jaman dahulu kebanyakan mendidik anak-anaknya agar menjadi pekerja daripada menjadikan pintar secara akademis, yang penting bisa menghasilkan uang tanpa susah-susah bersekolah.
            Bapak dan Ibuku adalah potret atas minimnya kesadaran pendidikan kala itu, siapa yang patut disalahkan? Tidak ada yang salah karena keadaan jaman saat itu tidak bisa dibandingkan dengan jaman sekarang yang jika tidak menggapai gelar sarjana maka akan dipandang sebelah mata. Papa dan Mama adalah potret orang nekat yang sukses di perantauan, meskipun sama-sama hanya lulus SD. Ironi bukan?
            "Ayo ikut ke kota Den, nanti seminggu lagi saya antar pulang ke sini lagi", pinta Mama.
            Lalu tatapanku serentak tertuju pada Ibuku, seakan Ibuku sudah tau tatapanku adalah tatapan meminta ijin kepadanya.
            Setelah menatapku sesaat, Ibu langsung menjawab, "Ikut saja tidak apa-apa, asal tidak boleh nakal ya?"
            Senyum mengembang di wajahku, seolah menjawab rasa penasaranku akan kehidupan kota yang tak pernah kutemui sebelumnya. Segeralah Ibuku menyiapkan baju ganti serta keperluan yang aku bawa, dan tiba-tiba Mama berkata, "Tidak usah bawa pakaian banyak-banyak mbakyu, nanti saya belikan di sana saja sambil saya ajak jalan-jalan". Ibuku segera menghentikannya, dan membawakan pakaianku seperlunya, seakan dia senang karena anaknya akan dibelikan baju bagus dari kota.
            Bruuummmm...... Suara deru mesin mobil tersebut terdengar dengan jelas. Papa yang telah dulu naik ke mobil, menghidupkan mesin. Mama yang menggandeng tanganku, meminta ijin kepada Bapak dan Ibuku untuk membawa aku selama sepekan ke kota. Aku pun mencium kedua tangan Ayah dan Ibuku seraya pamit untuk pergi ke kota bersama Mama dan Papa. Mobil pun melaju melewati liak-liuk jalan pegunungan, aku merasa agak mual karena ini pertama kali aku merasakan naik mobil. Mama pun mengajak aku bercanda agar rasa mualku terabaikan oleh candaan kami. Dan mulai saat itu, aku dibiasakan untuk memanggil Papa dan Mama kepada mereka berdua. Terlihat sekali mereka sangat senang dengan anak kecil mengingat sedari lama menikah belum juga dikaruniai anak oleh Tuhan. Klik disini untuk membaca Bagian 2 : Kota Rana

Kembali ke halaman BERANDA atau CERITA FIKSI

 

Komentar

  1. Wah tidak sabar menunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
  2. Keren. Jadi penesaran kelanjutannya seperti apa. Apakah mirip dengan perjuangan Arai dalam cerita laskar pelangi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer

Anak Pupon (Bagian 2 : Kota Rana)